Tugas Civic Education (Kewarganegaraan) tentang UU Perkawinan Campuran
PERBEDAAN UU
No. 62 Tahun 1958 dengan UU No. 12 Tahun 2006
Dalam UU
Nomor 62 Tahun 1958, anak yang lahir dari “perkawinan campur”
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya. Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak
memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan
campur dan diskriminasi hukum terhadap WNI Perempuan. Dalam ketentuan
UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi
warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
Dengan
lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru (UU No. 12Tahun 2006), anak yang lahir dari perkawinan
seorang Perempuan WNI dengan Pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan
seorang Pria WNI dengan Perempuan WNA, diakui sebagai Warga
Negara Indonesia.
UU
kewarganegaraan yang baru ( 12 tahun 2006 ) ini lebih memberikan jaminan
perlindungan bagi warga negara Indonesia. WNI yang kawin campur, dapat tetap
berstatus WNI termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan campur
tersebut. Anak-anak hasil kawin campur boleh memiliki kewarganegaraan
ganda dan setelah anak berumur 18 tahun, anak memilih sendiri
kewarganegaraannya (asas kewarganegaraan ganda terbatas).
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
STATUS
ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN.
Menurut UU
No 62 Tahun 1958
Indonesia menganut asas
kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai
pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang
belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia
setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang
bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak
yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi
tanpa kewarga-negaraan.”
Menurut
UU Kewarganegaraan Baru (UU No. 12 Tahun 2006)
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda
yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu
pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.