Ini adalah cerita yang saya baca saat saya masih duduk di bangku SMA. Dan ini
adalah salah satu cerita favorit saya, karena isinya yang sangat dalam. Dulu saya
membaca cerita ini di sebuah forum di vivanews.com. Namun setelah saya lulus
SMA, cerita ini sudah tidak ada lagi di forum tersebut. Tapi setelah saya
browsing di om gugel, ternyata banyak juga yang mempunyai postingan cerita ini.
Silahkan dibaca !!! :D
Tempat dan waktu kejadian: Shanghai 1950
Gui Guzi (鬼谷子) adalah seoarang
peramal yang amat terkenal di Shanghai. Saking banyaknya pelanggan2nya,
terpaksa ia buka praktek pada pagi, siang dan malam hari tetapi hanya pada jam2
tertentu. Untuk yang malam hari, waktu cut-off adalah jam 9 malam. Jadi begitu
sampai jam 9 malam, yang belum sempat bertemu dengannya terpaksa pulang dan
datang lagi keesokan harinya.
Malam itu, seperti biasanya, begitu sampai jam 9 malam ia langsung melepaskan
kaca matanya dan berteriak kepada pembantunya untuk menutup pintu. Tapi kali
ini pembantunya bergegas masuk dan memberitahukan bahwa ada seorang tamu ngotot
tidak mau pergi. Belum sempat menanyakan lebih lanjut, tiba2 pintu terbuka dan
seorang pemuda berusia sekitar 30-an masuk, membungkukkan badannya dan berkata:
“Tuan Gui, saya datang dari tempat jauh dan ada urusan amat mendesak memerlukan
bantuan anda. Harap dapat kiranya diberikan pengecualian sekali ini saja.”
Karena tamunya amat sopan, Gui Guzi pun mempersilahkan ia duduk dan menyuruh
pembantunya keluar untuk menutup pintu. Ternyata tamunya itu bermuka tampan.
Hanya mukanya agak pucat dan sinar matanya sayu. “Biasanya mata yang tidak bersinar
nasibnya kurang baik”, demikian Gui Guzi bertutur dalam hati. Selanjutnya Gui
Guzi mulai bertanya kepada tamunya itu:
“Nama anda?”
“Marga Su (蘇) nama Jichen (寄塵).”
“Apa yang ingin diramal?”
“Nasib saya secara keseluruhan.”
“Baik. Kalau begitu tolong beritahukan tanggal dan jam kelahiran anda.”
Su Jichen pun memberitahukan kepada Gui Guzi tanggal dan jam kelahirannya.
“Oh, rupanya shio sapi”. Sambil berbicara Gui Guzi mulai mendekati dan menatap
wajah Su Jichen dengan seksama.
“Tolong julurkan tangan kirimu.”
Setelah Su Jichen menjulurkan tangan kirinya, Gui Guzi pun mulai memegang
telapak tangan kiri Su Jichen memperhatikan guratan2 telapak tangannya. Setelah
melihat agak lama, Gui Guzi pun berkata: “Apa boleh saya berbicara blak2an?”
Sambil mengangguk Su Jichen menjawab: “Ya, harap diurai dengan mendetail. Yang
jelek2 pun tak perlu di-tutup2i.”
Dan mulailah Gui Guzi menuturkan riwayat dan nasib Su Jichen.
Su Jichen lahir di Ningbo. Berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan yang
buncit dari empat bersaudara. Ketika ia berumur 15 tahun, kakak sulungnya
mendapat jabatan penting di Shanghai sehingga sekeluargapun berpindah kesana.
Ketika ia berumur 20 tahun, pada suatu hari ia bersama teman2 sekolahnya
melewati Xiafei Street (霞飛路) dan dari arah depan
berpapasan dengan segerombolan murid2 perempuan. Seketika itu juga Su Jichen
terhentak melihat diantaranya ada seorang cewek yang amat cantik. Mukanya
berbentuk kwaci, matanya besar dan bersinar, mulutnya kecil, sama sekali tidak
berdandan tetapi amat cantik. Secara kebetulan, cewek itu juga melihat kearah
dia, tapi langsung menunduk malu dan berlalu bersama teman2nya.
Malam itu Su Jichen susah tidur karena terus memikirkan muka cewek yang
dilihatnya pada siang hari. Keesokan harinya diapun menjadi uring2an dan tidak
bersemangat. Sejak itu dia berubah dari seorang anak yang periang menjadi
seorang anak yang pendiam. Beberapa kali dia bolak-balik di Xiafei Street
sampai larut malam dengan harapan bisa ketemu cewek itu, tapi hasilnya selalu
nihil. Dalam hati kecil sebenarnya dia juga tahu, seandainya ketemupun dia
tidak akan punya keberanian menyapa cewek itu. Tapi ya begitulah. Asal bisa
bertemu saja rasanya sudah amat berbahagia.
XXXXXX
Mulut Su Jichen melongo mendengar Gui Guzi menuturkan masa lalunya dengan
demikian mendetail.
“Tuan Gui, anda bener2 hebat!”
“Tidak ada yang salah kan dari penuturanku?”
“Sama sekali tidak. Memang saya bertemu dengannya di Xiafei Street pada saat
saya berusia 20 tahun. Dan setelah itu pikiran saya amat menyiksa.”
“Guratan tanganmu yang ini menentukan kamu pada umur 20 tahun harus mengalami
siksaan batin karena cinta, dan siksaan batin itu berlanjut.” Sambil menunjukan
suatu guratan ditelapak tangan Su Jichen, Gui Guzi melanjutkan ramalannya.
Beberapa kali Su Jichen berusaha melupakan gadis itu. Dalam hati dia berkata:
“Dia cuma bertemu sekali dengan saya. Apakah dia masih ingat saya sekalipun
nanti bertemu? Kalau cewek yang cantik begitu pasti banyak cowok yang mengejar,
jangan2 dia juga sudah punya pacar.” Walaupun akal sehatnya menyuruh dia
melupakan gadis itu, tapi emosi hatinya tidak mampu melakukannya. “Oh, Tuhan!
Kenapa harus ada pertemuan di Xiafei Street itu? Kalau tidak ada, kan saya
tidak tersiksa begini?” Beberapa kali dia berteriak sendiri disaat yang sepi,
tapi tetap saja luka dihatinya tidak terobati.
Sejak itu setahun telah berlalu. Entah karena Tuhan terharu juga dengan
teriakan Su Jichen, mereka bertemu untuk kedua kalinya pada suatu hari. Saat
itu adalah musim dingin dan malam hari. Su Jichen sehabis dari luar bergegas
pulang kerumah karena udara dingin. Untuk mengambil jalan pintas, dia masuk
kesebuah lorong tapi mendadak matanya terbeliak melihat diujung lorong sana
cewek yang dia impikan siang malam, dengan syal putih meliliti lehernya, tampak
berjalan dengan seorang yang tampaknya seperti ibunya. Cewek itu kembali
menatapnya, menghentikan langkahnya tapi sejenak kemudian ditarik pergi oleh
ibunya. Pas disaat itu, sebuah kereta rickshaw (becak tanpa sepeda yang ditarik
dengan manusia) masuk kelorong itu dari lorong yang lain lantas menghalangi
pandangannya. Setelah rickshawnya berlalu, Su Jichen berlari kearah tempat
cewek itu tadi berada tetapi ceweknya sudah hilang.
Setelah kejadian ini, hati Su Jichen makin hancur. Dia sebenarnya ingin
berteriak memanggil cewek itu ketika melihat cewek itu menghentikan langkahnya.
Tapi karena disampingnya ada ibunya sehingga mengurungkan niatnya karena merasa
tidak sopan. Tapi dengan demikian, hilanglah kesempatan untuk berkenalan denga
cewek itu. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Terus menerus mengenangkan
tatapan mata cewek itu. “Dia sampai menghentikan langkahnya, berarti dia juga
suka sama saya. Dia berjalan sama ibunya, berarti dia belum punya cowok. Tapi
dimana mencarinya? Dimana?” Setiap hari dia menggumam sendiri, menyesalkan
kenapa tidak memanggil cewek itu pada saat itu. “Shanghai kan kota besar, bisa2
seumur hidup saya tidak bertemu lagi dengannya.” Tambah pikir tambah kesal,
tapi selain pasrah apa yang bisa dilakukannya?
XXXXXX
Mata Su Jichen mulai ber-kaca2 mendengar penuturan siperamal Gui Guzi.
“Tuan Gui, anda benar2 luar biasa. Semua yang kualami dapat dituturkan dengan
tanpa kesalahan sedikitpun. Saya amat tersiksa. Saya tersiksa terus. Kalau
waktu itu saya mengenal anda, mungkin anda dapat membantu saya.”
“Itu sudah takdir. Saya tidak bisa berbuat apa2 juga. Nah, kalau melihat
guratan ini, anda masih bertemu dengan dia untuk ketiga kalinya.”.
Tak terasa musim dingin telah beralih ke musim semi lalu ke musim panas. Hari
itu, hujan turun dengan deras dan Su Jichen keluar dari sebuah toko buku sambil
menjinjing payung. Pada saat hujan deras begini, payung sebenarnya tidak
terlalu berguna. Baju dan celana Su Jichen tetap basah. Mendadak ia merasakan
ada percikan air menghempas kearahnya dan dengan serta-merta muka dan sekujur
tubuhnyapun menjadi bertambah basah kuyup. Baru mengangkat kepala mau menegur
orang yang menyebabkan percikan air itu, dia melihat sebuah rickshaw baru saja
melintas disampingnya dan di rickshaw tersebut duduk 2 orang cewek. Salah seorangnya
membalikkan mukanya memandang kearahnya dengan raut muka minta maaf. Sinar
matanya demikian lembut. Siapa lagi kalau bukan cewek yang dia rindukan siang
malam itu.
Seketika itu juga, dia berlari mengejar rickshaw itu dengan se-kencang2nya.
Tapi apa mau dikata, kakinya tersandung sebuah batu dan dia jatuh terjerambab
dijalan. Mukanya menghantam tanah dan darahpun mengalir keluar dari keningnya
seketika itu juga. Tanpa memperdulikan darah dan air hujan yang membasahi
seluruh tubuhnya, dia bangun dan segera berlari mengejar rickshaw itu tapi
rickshaw tersebut sudah berada jauh didepan.
Su Jichen masih mati2an mengejar. Tapi apa lacur, dia terpeleset dijalan yang
licin dan kembali jatuh. Dan ketika dia bangun kembali, rickshaw sudah
menghilang dari pandangan matanya. Seketika itu juga dia merasa matanya gelap.
Kepalanya menengadah keatas. Cucuran air matanya tak kalah deras dengan curahan
hujan. Dia berdiri bengong dijalan tanpa memperdulikan rickshaw yang berlalu
lalang dijalan tersebut sampai akhirnya seorang kakek menariknya kepinggir
jalan.
Sambil menuturkan kejadian pertemuan ketiga itu, Gui Guzi meng-geleng2kan
kepalanya.
Dengan sedikit terisak Su Jichen bertanya: “Apa dikehidupan sebelum ini saya
telah membuat dosa yang amat besar sehingga dikehidupan yang sekarang ini saya
harus menanggung siksaan demi siksaan?”
“Saya tidak bisa meramal kehidupanmu yang lalu. Redakanlah kesedihanmu. Sancai,
sancai (Allah maha pengasih).”
“Setelah itu anda pasti juga tau kelanjutannya kan?”
Gui Guzi melanjutkan pemeriksaan guratan telapak tangannya.
XXXXXX
Su Jichen sudah melupakan sekolahnya. Mengaku pergi kesekolah kepada orang
tuanya, padahal setiap hari dia bolos mencari cewek itu. Susahnya dia tidak tau
cewek tersebut bernama apa, sehingga tidak tau bagaimana menanyakan ke orang2.
Mengira cewek tersebut tinggal didaerah dimana mereka bertemu kedua kalinya, Su
Jichen sudah melewati semua lorong2 disekitar itu entah berapa ratus kali.
Tetapi tetap saja hasilnya nihil.
Takut ketahuan terlalu banyak bolos, diapun mulai balik kesekolahnya tapi dalam
1 minggu paling tidak dia bolos 1-2 hari. Demikianlah hari demi hari berlalu
tapi cewek itu seperti menguap dari bumi ini.
Menjalani hidup yang hampa ber-tahun2, Su Jichen pun akhirnya sudah
menyelesaikan kuliahnya pada saat berusia 24 tahun. Dia sekarang sudah berusia
25 tahun. Pada masa itu, cowok2 umumnya sudah menikah pada usia 25 tahun.
Sebenarnya sejak dia tammat kuliahpun orang tuanya sudah mendesak dia nikah,
tapi dengan bermacam dalih dia menolaknya. Dia sebenarnya juga pernah
menyampaikan keibunya soal cewek idamannya itu, tapi dizaman itu keluarga kaya
harus mendapatkan pasangan dari keluarga kaya pula. Makanya ibunya tidak setuju
sembarangan mencari pasangan dari keluarga tidak dikenal apalagi cewek itu keberadaannya
tidak diketahui.
Setelah 3 ½ tahun mencari tanpa hasil, Su Jichen mulai patah arang. Ditambah
setahun terakhir ini didesak terus oleh orang tuanya, akhirnya pada suatu hari
dia setuju pergi bersama ibunya melihat calon pengantin yang diperkenalkan oleh
mak comblang. Cewek yang diperkenalkan ini bernama Xiuyi (秀宜), mukanya juga cantik pinggangnya juga
kecil dan kulitnyapun putih mulus. Cuma sayangnya dihati Su Jichen sudah
kepalang terisi cewek yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, maka
diapun tidak menyukainya. Tapi sebaliknya ibunya naksir berat terhadap Xiuyi
ini.
Sampai 3 bulan setelah pulang dari rumah Xiuyi, Su Jichen tetap bertahan tidak
mau menikahi Xiuyi. Tapi akhirnya ayahnyapun mulai angkat bicara dan diapun
mulai berpikir. Pertama dia sudah mencari cewek idamannya selama 3 ½ tahun.
Segala pelosok Shanghai sudah dijelajahi. Karena tetap tidak ketemu juga, apa
cewek tersebut telah pindah kekota lain? Kedua, membangkang terus terhadap
orang tua akan dicap sebagai anak tidak berbakti. Maka akhirnya, dengan berat
hati diapun menyetujui menikahi Xiuyi.
Bagaimana kehidupan Su Jichen setelah menikah dengan Xiuyi? Hilang kemana cewek
yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu? Hal yang menyeramkan mulai
menghampiri.
Masih 2 minggu lagi dan tanggal pernikahanpun akan tiba. Setiap hari Su Jichen
masih mengharapkan dapat bertemu dengan cewek idamannya. Seandainya bisa
bertemu, dia akan membatalkan pernikahan itu entah dengan cara kabur dari rumah
atau apa. Tapi sayang cewek idamannya tetap tidak muncul dan hari pernikahanpun
tiba.
Pesta diadakan secara besar2an dan meriah. Maklum keluarga Su Jichen adalah
keluarga yang kaya raya. Kedua orang tua Su Jichen ber-seri2 sejak pagi, tapi
Su Jichen sendiri sepanjang hari tampak cemberut dan dingin.
Tibalah malam hari berduaan dengan Xiuyi dikamar pengantin. Setelah berdua
berdiam lama, Su Jichen memulai pembicaraan:
“Xiuyi, saya harus berkata jujur kepadamu, bahwa sebenarnya saya tidak
mencintaimu dan pernikahan ini hanya karena saya tidak enak menolak permintaan
orang tua saya.”
“Sebenarnya dari waktu pertama kali kita bertemu aku juga sudah tahu. Kamu
sekalipun tidak pernah mau memandang kepadaku.”
“Kalau begitu kenapa kamu mau menikah dengan saya?”
“Karena aku menyukaimu dan aku juga tidak dapat menolak kemauan orang tuaku.”
“Orang tua! Orang tua! Kenapa sih pernikahan harus diatur oleh orang tua?”
Xiuyi tidak menjawab. Dia hanya menundukkan muka.
“Itu kan sangat tidak adil. Kita tidak boleh memilih orang yang kita sukai!”
“Aku tahu kamu pasti mencintai cewek yang lain. Tapi kenapa tidak berjuang
mendapatkannya?”
“Mendapatkannya? Dia ada dimana saja saya tidak tahu.”
Lalu Su Jichen menceritakan kisah tentang cewek idamannya dari awal sampai
akhir.
Xiuyi menangis ter-sedu2. Entah kasihan kepada Su Jichen atau meratapi nasibnya
sendiri memperoleh suami yang tidak mencintainya.
Dengan ter-isak2 dia berkata: “Aku tidak berkeberatan diceraikan. Tidak apa2
aku diusir kembali kerumah orang tuaku.”
“Ai..” Su Jichen menghela napas: “Keluargaku adalah keluarga terpandang. Ayahku
tak akan mengizinkan hal itu. Lagipula ini sama sekali bukan salahmu. Saya juga
tidak mungkin mau melakukan itu.”
Xiuyi terharu mendengar jawaban dari Su Jichen. Secara refleks dia menjatuhkan
badannya kepundak Su Jichen, tapi ditahan oleh kedua tangan Su Jichen.
“Maaf, Xiuyi. Hati saya belum bisa menerima kamu. Saya mohon untuk sementara
kita jangan bersentuhan dulu, tapi didepan orang tuaku tolong kita bertindak
se-olah2 layaknya suami isteri.”
Xiuyi meng-angguk2 sambil berlinangan air mata. Dan malam itu kedua mempelai
nyaris tidak tidur sama sekali.
Sejak itu, mereka berdua menjalankan hidup sebagai suami-isteri semu. Didepan
orang tua kelihatan mesra, tetapi dikamar tidur sama sekali tidak bersentuhan.
Namun orang tua Su Jichen sangat menyayangi menantu ini. Xiuyi selalu bangun
pagi2, menyiapkan makanan dan melayani kedua orang tua tersebut dengan amat
telaten. Sang Ibu malah kadang2 menegor Su Jichen karena dia sering kelihatan
acuh tak acuh terhadap Xiuyi.
Persoalan mulai timbul ditahun kedua. Kedua orang tua heran kenapa Xiuyi tidak
kunjung hamil. Karenanya mereka disuruh mencari tabib untuk mengetahui
penyebabnya. Su Jichen pusing tujuh keliling. Rahasianya segera akan terungkap.
Terpaksa dia mengutarakan kepada Xiuyi bahwa walaupun tidak mencintainya, dia
harus menghamilinya karena kalau tidak, rahasia mereka selama ini akan
terbongkar.
Xiuyi malah senang mendengar ini dan tidak lama setelah itu diapun mengandung.
Tak disangka dengan semakin bertambah umur kandungannya, Su Jichen jadi semakin
menyayanginya dan mereka akhirnya menjadi suami-isteri yang sebenarnya. Dan
setelah 9 bulan lahirlah seorang bayi laki2 yang montok.
(Sebenarnya dari sini saya bisa switch ceritanya jadi happy-ending, dengan
melanjutkan ceritanya menjadi Su Jichen dan Xiuyi berpesiar setelah melahirkan
lalu diselingi dengan adegan2 romantis dari keduanya. Tapi saya berpikir
kembali. Yang Sasha mau kan kisah romantis antara Su Jichen dengan cewek
idamannya yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, bukan kisah romantis
antara Su Jichen dengan Xiuyi. Jadi saya teruskan ceritanya seperti apa adanya
aja deh)
Saking sayangnya Su Jichen terhadap isterinya, dia menganjurkan agar dicari
seorang baby-sitter untuk mengurus anak mereka. Xiuyi amat senang. Kebetulan
ada seorang temen baiknya yang bersedia menjadi baby-sitter. Jadi diputuskan
agar memanggil temennya itu saja kerumah mereka.
Pada hari yang telah ditentukan, temennya Xiuyi datang dan Xiuyi pun membawa
temennya menemui Su Jichen. Tapi betapa kagetnya Su Jichen ketika melihat
mukanya si baby-sitter itu. Itu adalah cewek yang dia rindukan siang malam dan
entah hilang kemana selama ini. Yang beda cuma dandanannya. Kalau dulu dia
seorang murid sekolah, sekarang dandanannya menjadi seperti seorang pembantu.
Tapi mukanya tetap cantik sekali dan sinar matanya tetap begitu lembut walaupun
terbeliak kaget ketika melihat Su Jichen.
“Apakah kalian kenal?” Xiuyi bertanya karena melihat mereka kaget ketika
bertemu.
“Ya, dia pernah bantu menjaga bibi saya beberapa minggu ketika bibi saya
sakit.” Entah kenapa, Su Jichen yang biasanya tidak bisa berbohong mendadak
jadi pintar.
“Oh, rupanya Cuifeng (翠鳳) adalah temen kamu
juga. Baguslah kalau begitu. Tidak perlu repot2 saya memperkenalkan lagi.”
Xiuyi ber-seri2 dan sedikitpun tidak menaruh curiga.
Selanjutnya Xiuyi pun membawa Cuifeng kekamar bayinya dan mengobrol lama disitu
meninggalkan Su Jichen yang melongo sendirian.
XXXXXX
Su Jichen ingin berbicara empat mata dengan Cuifeng karena terlalu banyak yang
ingin ditanyakan.. Selain itu rasa kangennya juga kambuh kembali. Tapi susahnya
Cuifeng kebanyakan ada dikamar bayi dan jarang mau keluar. Sekali2 kepergok dia
ada diluar kamar tapi begitu melihat Su Jichen, dia buru2 langsung masuk
kekamarnya lagi.
Tiga hari telah berlalu dan tidak sekalipun Su Jichen berkesempatan berbicara
dengan Cuifeng. Malamnya dia bolak-balik tak bisa tidur memikirkan bagaimana
caranya agar bisa berbicara empat mata dengan Cuifeng. Akhirnya dia pikir kalau
siang hari pasti tidak mungkin karena dirumahnya banyak sekali orang
berlalu-lalang. Selain kedua orang tuanya masih ada kakak2 beserta isteri2
mereka. Belum lagi pembantu2 rumah tangga. Jadi kalau berbicara disiang hari
pasti akan kepergok. Satu2nya cara adalah dengan nekat pada tengah malam begini
menerobos kekamar bayi. Melihat isterinya sudah tidur, diapun diam2 turun dari
ranjang meninggalkan kamarnya menuju kekamar bayi. Tapi dia tidak tahu
sebenarnya isterinya juga belum tidur. Xiuyi heran kenapa Su Jichen malam2
meninggalkan kamar karena selama ini belum pernah dilakukannya. Jadi diapun
dengan meng-endap2 mengikuti Su Jichen.
Xiuyi kaget karena ternyata Su Jichen menuju kekamar bayi. Terlihat dia mulai
mengetok-ngetok pintu kamar dengan ringan. Tidak lama kemudian terdengar suara
Cuifeng: “Xiuyi, apakah kamu itu?”
“Bukan, Cuifeng. Ini aku. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Izinkanlah aku
masuk.”
“Hah!” terdengar suara kaget dari Cuifeng: “Jangan, tuan muda. Nanti saya
berdosa.”
“Aku cuma minta pertemuan dan pembicaraan empat mata sekali ini saja, karena
terlalu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Disiang hari hal tersebut
tidak mungkin dilakukan karena terlalu banyak orang yang lalu lalang, jadi
terpaksa saya datang malam2 begini. Mumpung Xiuyi sudah tidur.”
“Oh jangan, tuan muda. Saya tidak boleh membelakangi Xiuyi bertemu dengan tuan
muda.”
Mendadak pintu kamar dibuka oleh Su Jichen. Pintu kamar itu memang kuncinya
sengaja dicopotkan oleh Xiuyi agar dia se-waktu2 dapat masuk kekamar menemui
bayinya.
“Maaf, Cuifeng. Saya tak ada jalan lain selain dengan lancang masuk kemari
malam ini.”
Cuifeng mengerutkan tubuhnya ditempat tidur. Rambutnya awut2an dan bajunya
sedikit acak2an karena dia tidak sempat merapikannya. Matanya terlihat sedikit
ber-kaca2 dan terlihat dia menggigit bibir bagian bawahnya. Perasaan Su Jichen
makin tidak keruan karena dalam keadaan begini Cuifeng makin terlihat cantik.
Takut tak dapat mengontrol dirinya, Su Jichen menundukkan mukanya dan berjalan
kearah meja yang terletak ditengah kamar itu dan duduk.
“Cuifeng, selama 6 tahun lebih aku menderita karena kamu. Anggaplah ini belas
kasihan dari kamu atas penderitaanku selama ini dan duduklah disini menjawab
pertanyaan2ku.”
Per-lahan2 Cuifeng turun dari tempat tidur, merapikan baju dan rambutnya lalu
duduk semeja dengan Su Jichen.
“Tuan muda, maafkan aku.”
“Jangan panggil tuan muda. Panggil saya Jichen”
“Aku tidak enak.”
“Sudahlah. Nasib kita berdua sudah demikian jelek. Jangan sampai tidak
memanggil aku Jichen lagi.”
“Oh…Baiklah Jichen” mata Cuifeng makin ber-kaca2.
“Waktu kita berdua bertemu pertama dan kedua kali sih saya maklum. Saya tidak
sempat bereaksi apa2. Tapi waktu ketiga kali itu kamu membalikkan muka dan
melihat saya lagi mengejar, kok tidak suruh sipenarik rickshaw itu berhenti?”
“Aku melihat kamu jatuh, Jichen! Aku langsung menyuruh sipenarik rickshaw
berhenti. Tapi Xiuyi tanya aku kenapa?”
“Hah! Jadi yang duduk disamping kamu itu Xiuyi?”
Air mata Cuifeng mulai mengalir. “Iya. Aku malu terhadap Xiuyi. Masak aku suruh
sipenarik rickshaw berhenti hanya karena seorang laki2 yang aku kenal saja
belum? Jadi akhirnya aku suruh diteruskan lagi perjalanannya. Tapi kok habis
itu kita tidak bertemu lagi? Kenapa?”
“Kenapa? Kenapa? Ini seharusnya saya yang tanya. Karena sehabis itu selama
bertahun-tahun saya mencarimu sampai kesegala pelosok Shanghai tapi tidak
ketemu.”
Cuifeng tak sanggup menahan perasaan lagi. Air matanya bercucuran deras. Ia
meng-geleng2kan kepalanya. Lalu dengan sebentar2 melap air matanya ia
menceritakan derita hidupnya:
“Ayahku telah meninggal sejak aku masih kecil. Ibu yang dengan susah payah
membesarkanku. Kami tidak mempunyai famili lain di Shanghai. Ibu mencari nafkah
dengan berjualan dipasar. Hidup kami amat pas2an. Kadang2 kami berdua hanya
makan sekali dalam sehari. Oleh sebab itu, waktu ada temen ibu dari Hangzhou
datang kemari, dan itu adalah kira2 1 tahun sejak pertemuan kita yang ketiga,
dan mengatakan ada keluarga kaya di Hangzhou ingin mencari menantu yang cantik,
Ibu langsung mengiyakan. Aku menangis dan me-ronta2. Tapi Ibu juga menangis dan
malah berlutut dihadapanku, dan mengatakan dia sudah tidak sanggup lagi menahan
derita hidup. Habis aku mau bagaimana lagi? Semua terjadi dengan demikian
cepat. Keesokan harinya juga langsung aku dan ibu dijempat ke Hangzhou.”
“Tuhan sungguh kejam,” Su Jichen menimpali sambil mengepalkan kedua telapak
tangannya.: “Didunia ini memang tidak ada keadilan!” Dengan ter-sedu2 Cuifeng
kembali melanjutkan penuturannya:
“Suami saya itu pendek dan gemuk. 1-2 tahun setelah menikah sih orangnya masih
baik. Ibuku ditempatkan disebuah rumah kecil dan aku bebas mengunjunginya.
Tetapi setelah aku melahirkan seorang bayi perempuan, dia dan kedua mertuaku
mulai tidak suka terhadapku. Aku dilarang keluar rumah sekalipun untuk menemui
ibuku. Sebaliknya dia setiap malam kalau bukan pergi berjudi pasti pergi minum.
Aku tidak boleh tidur dan harus menunggunya pulang. Kalau lagi mabuk, kadang2
aku dipukuli. Belakangan dia kawin lagi dengan seorang cewek lain dan aku dan
anakku disuruh pindah dan tinggal bersama ibuku dirumah kecil itu. Belakangan
karena sering kalah judi, keadaan ekonominyapun mulai payah. Tunjangan hidup
untuk aku, anakku dan ibuku semakin lama semakin sedikit . Sebenarnya semenjak
dipindahkan kerumah kecil itu aku ingin kerja di kantor2 tapi tidak
diperbolehkan. Belakangan terdengar kabar bahwa rumah kecil yang kami tempati
bertiga itu mau dijual dan akupun menjadi gugup. Teringat bahwa aku masih
mempunyai seorang teman baik di Shanghai, maka akupun menulis surat kepada
Xiuyi menanyakan apa dia bisa membantuku mengatasi keadaan darurat ini. Aku
sangat senang dan lega ketika dibalasan surat Xiuyi mengatakan dia sudah
menikah dengan seorang pemuda tampan, kaya dan berpengaruh di Shanghai dan baru
melahirkan seorang bayi laki2. Dia minta aku menjadi baby sitternya dan suruh
aku, anakku dan ibuku segera minggat saja dari Hangzhou. Kalau seandainya nanti
suamiku berani coba2 cari perkara, dia akan minta keluarga suaminya
menghadapinya.”
“Jadi, karena itulah aku sampai kerumah ini tapi betapa kagetnya aku ketika
tahu ternyata suami Xiuyi adalah kamu. Aku tahu aku tak boleh ber-lama2 disini
karena nanti bisa menimbulkan prasangka yang tidak baik dari Xiuyi kepada kamu.
Cuma sekarang aku masih bingung kalau keluar dari sini aku mau kerja dimana dan
bagaimana menjelaskannya kepada Xiuyi.”
“Sudahlah, Cuifeng. Jangan pikir macam2 dulu. Terima kasih kamu telah mau
menjelaskan semuanya kepadaku. Aku permisi dulu”.
Su Jichen keluar dari kamar Cuifeng tapi tidak langsung kekamarnya. Dia pergi
ketaman belakang yang berjauhan dari kamar2. Disana dia menangis habis2an
meratapi nasib antara dia dengan Cuifeng. Waktu dikamar Cuifeng dia mati2an
menahan kesedihannya karena dia tahu kalau dia menangis disitu nanti Cuifeng
jadi semakin sedih lagi.
Entah berapa lama dia berada ditaman itu. Lalu diapun kembali kekamarnya. Xiuyi
ternyata masih tidur nyenyak ditempat tidur. Tapi dia tidak tahu sebenarnya
isterinya terus mengikutinya semenjak dia keluar dari kamar dan buru2 kembali
kekamar pura2 tidur sebelum dia balik kekamar.
Keesokan harinya, hati Su Jichen terasa gundah gulana. Ter-bayang2 bagaimana
semalam Cuifeng menceritakan penderitaannya sambil menangis ter-sedu2. Ingin
sekali dia mem-belai2 dan bahkan memeluknya, tetapi tidak pantas karena dia
sekarang sudah menjadi suaminya Xiuyi. Teringat kembali 3 pertemuan terdahulu
itu, dia semakin ingin merangkul Cuifeng dan menangis se-puas2nya untuk
melepaskan rindu. Tapi hal tersebut tak akan pernah terjadi untuk se-lama2nya.
Karena amat risau, dia pergi ke kelenteng yang tidak jauh dari rumahnya.
Keluarganya sering memberikan sumbangan kepada kelenteng tersebut. Oleh sebab
itu ketua kelenteng sampai menyiapkan sebuah kamar khusus untuk keluarga Su. Su
Jichen bersamedhi dikamar tersebut untuk menenangkan pikirannya dan menghilangkan
kegundahannya. Sayup2 terdengar suara doa para pendeta, sampai timbul pikiran
Su Jichen ingin membuang rambut dan menjadi pendeta saja. Tak terasa 2-3 jam
pun berlalu.
Mendadak seorang pendeta bergegas lari menuju kekamarnya: “Tuan Su, tidak tahu
apa yang terjadi dirumah anda. Saya barusan melewati rumah anda sebelum balik
ke kelenteng. Banyak suara gaduh dan pembantu2 dan anggota2 keluargamu tampak
berlari kesana kemari.”
Dengan spontan Su Jichen lari kerumahnya. Begitu masuk kerumah, dia mendengar
suara tangis disana-sini. Seorang pembantu menuntunnya kekamar tidurnya.
Terlihat Xiuyi terbaring kaku ditempat tidur dan di-langit2 ada ikatan tali.
Ibunya menangis sedu-sedan disamping mayat isterinya dan banyak anggota
keluarga berkumpul disitu. Ini benar2 seperti halilintar disiang bolong. Kok
hal demikian bisa terjadi? Kakak sulungnya menggandengnya kesebuah meja. Disana
terletak 2 surat dengan tulisan tangan Xiuyi. Satu ditujukan kepadanya dan satu
ditujukan kepada orang tuanya. Segera Su Jichen menyambar surat yang ditujukan
kepadanya. Demikianlah isi surat tersebut:
Jichen, semalam sebenarnya aku mengikutimu sepanjang malam. Dari samping
jendela aku melihat dan mendengar semua percakapanmu dengan Cuifeng. Aku baru
tahu cewek yang di-idam2kan olehmu ternyata adalah Cuifeng. Kalau itu hari aku
tidak menegur Cuifeng kenapa menghentikan kereta, kalian berdua sekarang sudah
menjadi sepasang suami-isteri yang berbahagia. Karena akulah nasib Cuifeng
menjadi tragis begini dan dirimu pun tersiksa batinnya. Sebenarnya aku ingin
sekali kamu menikahi Cuifeng dan kita hidup bertiga, tapi aku juga tahu hal
tersebut tidak akan terjadi karena keluarga Su tidak dapat menerima menantu
dari keluarga tidak terpandang. Aku memilih mengakhiri hidup ini karena:
1. Aku merasa berdosa kepada Cuifeng karena akulah yang mengakibatkan hidupnya
jadi terlunta-lunta padahal dia teman baikku.
2. Aku memohon kepada kedua orang tuamu dengan nyawaku agar mereka mau menerima
Cuifeng sebagai isterimu. Aku yakin dia dapat merawat anak kita dengan baik.
Walaupun masa pernikahan kita amat singkat, aku sangat menikmatinya dan sudah
merasa puas. Maaf aku pamit dulu.
Mendadak 2 pembantu rumah tangga lari masuk kekamar. “Tolong, tolong! Si baby
sitter terkapar dilantai. Mulutnya mengeluarkan busa.”
Su Jichen kaget sekali. Tapi tangannya digenggam oleh kakak sulungnya.
Terdengar ibunya membentak kedua pembantu tersebut: “Pergi dari sini! Apakah
kalian tidak lihat keadaan nyonya muda disini? Kalau si baby sitter, apa
urusannya dengan keluarga kami?”
Kakak sulungnya berbisik kepada Su Jichen: “Ibu sudah membaca surat Xiuyi dan
dia tetap tidak setuju kamu menikahi Cuifeng. Jadi kamu jangan peduli Cuifeng.”
Tapi Su Jichen tidak perduli. Dia menghentakkan dan melepaskan tangannya dari
genggaman kakak sulungnya dan secepat kilat berlari kekamar Cuifeng. Terlihat
Cuifeng terbaring dilantai. Mulutnya mengeluarkan busa, hidungnya mengeluarkan
darah. Diatas meja ada sebotol racun tikus.
Buru2 Su Jichen menghampiri Cuifeng. Mulut Cuifeng ber-gerak2 seperti mau
mengucapkan sesuatu. Su Jichen mendekatkan telinganya kemulut Cuifeng. Sayup2
tercium bau darah dari mulut Cuifeng dan terdengar suara lemah keluar dari
mulutnya: “Jichen, Xiuyi bunuh diri karena aku. Mana aku dapat menerima
kenyataan ini. Aku mau menyusulnya. Jagalah anakmu dengan baik dan kalau boleh,
tolong menjaga ibuku dan anakku juga. Mereka ada di…. alamatnya ada tertulis
disurat diatas meja.”
XXXXXX
Gui Guzi menengguk secangkir teh. Dia haus setelah berbicara terlalu lama kali
ini. Kembali dia melihat telapak tangan Su Jichen. Mendadak dia terhentak
kaget: “Guratan ini.. guratan ini kenapa terputus disini?” Dia mengangkat
kepala melihat kemuka Su Jichen. Badannya gemetaran, tangannya menunjuk kearah
Su Jichen: “Kamu.. kamu…”
“Ya. Setelah itu saya menenggak sisa racun tikus yang ada dimeja.”
“Disini bukan duniamu. Kenapa kamu datang kemari?”
“Karena saya bingung tidak tahu mau tanya kesiapa.”
“Jangan ganggu aku. Pergilah dari sini.”
“Tidak sebelum saya mendapatkan jawabannya.”
“Apa yang ingin ditanya?”
“Dialam baka saya menemui Xiuyi. Tapi kenapa saya tidak menemui Cuifeng?”
“Tidak. Saya tidak bisa memberitahukan karena itu akan melanggar kodrat.”
“Persetan dengan segala kodrat. Saya harus tahu.”
“Tidak. Tidak seorangpun peramal yang boleh membocorkan hal demikian kepada
roh.”
“Didunia ini dia sudah menghilang begitu lama dari saya. Kenapa didunia sana
dia menghilang lagi?” Muka Su Jichen mulai berubah jadi beringas.
“Saya tidak tahu. Pergilah dari sini. Tanya keperamal yang lain.”
“Hanya kamu yang tahu karena kamu yang terhebat. Sudah terbukti tadi. Ramalan
kamu dari awal sampai akhir tidak ada satupun yang salah.”
(Bersambung)
“Jangan memaksa aku. Demi kebaikan bersama jangan memaksa aku.”
“Tidak. Saya harus mengetahuinya.” Su Jichen bangkit dari tempat duduknya.
Gui Guzi merasa dirinya terancam. Dikeluarkan sepotong cermin dari laci. Cermin
itu dapat mengusir roh tapi biasanya baru akan digunakan dalam keadaan terpaksa
karena dapat memusnahkan roh sehingga tidak dapat reinkarnasi lagi. Sekarang
terpaksa dia mengarahkan cermin tersebut kemuka Su Jichen.
Su Jichen membalikkan mukanya. Dia mundur sampai tujuh langkah. Tapi setelah
itu dia dapat menguasai keadaan. Mukanya berubah menjadi muka yang dari lubang
mata, hidung, telinga dan mulut mengeluarkan darah. Mungkin itulah wajahnya
saat meninggal karena racun tikus. Mendadak seluruh ruangan menjadi dingin.
Dinding rumah mulai bergetar. Su Jichen ketawa ter-bahak2: “Gui Guzi, kamu mau
memusnahkan aku?”
Gui Guzi mengarahkan cermin ber-ulang2 kearah muka Su Jichen tapi tidak mempan.
Dia baru menyadari bahwa Su Jichen adalah roh yang amat penasaran. Roh2
demikian kekuatannya berlipat ganda karena himpunan kekuatan dari rasa
penasarannya. Karena tahu tidak kuat melawannya, Gui Guzi memejamkan mata
menunggu ajal. Udara terasa makin lama makin dingin. Itu pertanda Su Jichen
sudah makin mendekatinya. Tapi per-lahan2 rasa dingin itu berkurang dan getaran
dinding rumahnya juga ber-angsur2 mereda. Akhirnya semuanya menjadi normal
kembali.
Gui Guzi membuka kedua matanya. Dilihatnya Su Jichen bersujud dihadapannya.
Mukanya sudah berubah kembali menjadi muka semula yang tampan. “Tuan Gui, maaf
atas kelancangan saya tadi. Saya memang tidak boleh memaksa anda melanggar
kodrat. Baiklah, saya pamit dulu.” Sehabis berkata, Su Jichen berdiri, berbalik
badan dan pergi.
Ketika Su Jichen hampir melangkahi pintu keluar, mendadak Gui Guzi berteriak:
“Tuan Su, tunggu. Tolong balik kembali. Ada hal yang ingin kusampaikan.” Su
Jichen balik kedalam dan duduk kembali dikursi tadi. Terlihat Gui Guzi
mengambil sebotol arak dari lemari dibelakang mejanya. Setelah itu sambil
mengelus-elus dadanya dia berkata:
“Tuan Su, anda telah berbaik hati tidak membunuhku padahal aku yang memulai
untuk memusnahkanmu. Aku juga punya hati nurani. Masa bodoh segala macam kodrat
itu. Kalau aku tidak memberitahukan kenapa kamu tidak bisa menemui Cuifeng,
seumur hidupku nanti batinku akan tersiksa.
Ditenggakkannya sebotol arak itu sampai habis, Gui Guzi melanjutkan kata2nya:
“Ibumu menyuruh kakak sulungmu menyusulmu kekamar Cuifeng. Ketika dia sampai,
pas pada saat kamu tidak sadarkan diri setelah minum racun tikus. Kamu digotong
kekamar kakak sulungmu dan segera dipanggilkan tabib. Tapi waktu tabib tiba,
nyawamu sudah tidak tertolong lagi. Sebaliknya Cuifeng ditolong oleh kedua
pembantu rumah tangga itu. Mereka mengorek-ngorek tenggorokan Cuifeng dan
sebagian besar racun tikus termuntah kembali. Cuifeng tertolong dan oleh sebab
itu kamu tidak bisa menemuinya dialam baka.”
Su Jichen terdiam lama. Jelas terlihat rasa kecewa dimukanya. “Oh, rupanya
begitu… Lalu dia berada dimana sekarang?”
“Sancai, sancai.. Janganlah mengganggu dia. Kalian sekarang berada didunia yang
berbeda.”
“Saya tidak akan mengganggu dia. Saya cuma ingin melihatnya terakhir kalinya
sebelum kembali kealam baka.”
“Baiklah kalau begitu. Dia sekarang ada dibiara yang terletak dipinggir kota
sebelah timur. Dia telah menjadi seorang nigu (pendeta wanita yang kepalanya
juga diplontoskan).”
“Terima kasih tuan Gui, Su Jichen berhutang budi kepadamu. Saya pamit dulu.”
Jam tepat menunjukkan jam 12 tengah malam ketika Su Jichen meninggalkan rumah
Gui Guzi. Terlihat dia berjalan menuju kerumahnya, rumah keluarga Su.
Pertama-tama terlihat dia masuk kekamar tidur kedua orang tuanya. Dia sudah
berbentuk roh. Dia dapat dengan leluasa menerobos dinding. Terlihat dia menekuk
lutut dan membenturkan kepalanya 3 kali kelantai untuk menghormati orang
tuanya. Setelah itu ber-turut2 dia kekamar tidur kakak sulung, kakak kedua dan
kakak ketiganya dan lalu terakhir dia menuju ke bekas kamar Cuifeng. Terlihat
anaknya tertidur lelap disamping seorang baby sitter baru. Setelah melihat
anaknya, dia menuju ke meja yang terletak ditengah kamar dan duduk disalah satu
kursi disamping meja itu. Lama sekali dia duduk dikursi itu. Tampak air mata
bercucuran dari mukanya. Pasti dia lagi merenungkan saat2 Cuifeng menceritakan
pengalamannya malam itu.
Setelah meninggalkan rumahnya, dia menuju biara yang disebutkan oleh Gui Guzi.
Ditengah malam begini diruang sembayang terlihat masih ada lampu menyala.
Seorang nigu dengan pakaian abu2 terlihat lagi membaca doa sambil
mengetok-ngetok bokhie (genggaman kayu berbentuk ikan yang digunakan waktu
berdoa). Sambil berdoa si nigu mengucurkan air matanya. Berarti nigu tersebut
belum mampu melupakan kesedihan yang dialaminya sewaktu masih menjadi orang
biasa.
Su Jichen cuma bisa melihat dari jauh. Sebagai roh dia tidak dapat berada
terlalu dekat dengan ruang sembahyang. Dia terus menatap wajah nigu tersebut –
wajah yang tidak bisa dia lupakan waktu sebagai manusia maupun sebagai roh
sekarang. Terdengar Su Jichen menggumam sendiri: “Tengah malam begini dia masih
berdoa. Dia pasti tidak bisa tidur. Cuifeng, kita berdua sungguh tidak
berjodoh. Semoga Tuhan mengasihani kita dan mempertemukan kita dikehidupan yang
akan datang.”
Su Jichen sebenarnya belum mau pergi. Tapi suara doa dan suara bokhie membuat
kepalanya pusing karena dia sekarang bukan manusia lagi. Dengan sedih diapun
meninggalkan biara tersebut dan menghilang di kegelapan malam.
XXXXXX
Setelah kejadian malam itu, Gui Guzi jatuh sakit dan sampai enam bulan kemudian
baru sembuh. Tetapi setelah sembuh dia tidak menjadi peramal lagi karena
kekuatan meramalnya sudah hilang. Itu adalah hukuman yang diterimanya karena
melanggar kodrat dengan memberikan informasi kepada roh. (Seluruh cerita
selesai!)
Untuk menghormati penulis blog, saya cantumkan sumber dimana saya mendapatkan cerita ini
Sumber